Upaya Mengurangi Pengangguran intelektual

 

I. Pendahuluan

*”Tahun 2009 ada 116,5 juta orang di Negeri ini serbu pasar kerja !!” *SERAM! Kondisi sebagaiman judul di atas akan melanda negeri ini tahun 2009. Ketika itu dari perkiraan jumlah penduduk 228,9 juta orang, sebanyak 168,9 juta jiwa atau 73,3 persen diantaranya merupakan penduduk usia kerja. Dari jumlah ini, 116,5 juta orang atau 69 persen dari penduduk usia kerja
dipastikan menyerbu pasar kerja sehingga sangat “menakutkan” karena pertumbuhan ekonomi belum jelas besarannya.[1]

Jumlah Perguruan Tinggi di Indonesia saat ini 2.874. Berapa sarjana yang diluluskan setiap tahun oleh masing-masing Perguruan Tinggi tersebut? Yang pasti angkanya bervariasi. Mungkin berkisar antara 500 s/d 8000. Kita asumsikan saja setiap perguruan tinggi meluluskan 1000 Sarjana. Berarti 2.874 X 1000 = 2.874.000 orang Sarjana yang dicetak Indonesia setiap tahunnya. Lalu berapa orang sarjana yang dibutuhkan oleh negeri ini setiap tahun atau yang dapat diserap di dunia kerja? Secara pasti data tersebut tidak diketahui. Dahulu, seorang menteri mengatakan bahwa Indonesia setiap tahunnya membutuhkan 75.000 sarjana. Jika angka ini benar, berapa sarjana yang menganggur dalam setiap tahunnya. Coba saja dihitung, 2.874.000 –
75.000 = 2.799.000 orang sarjana yang menganggur setiap tahunnya. Jumlah yang tidak sedikit.[2]

Fenomena pengangguran sering menyebabkan timbulnya masalah sosial lainnya. Di samping tentu saja akan menciptakan angka produktivitas sosial yang rendah, dimana pada gilirannya akan menurunkan tingkat pendapatan masyarakat[3].

Salah satu bentuk pengangguran yang populer dewasa ini adalah pengangguran intelektual (terdidik). Kekurangselarasan antara perencanaan pembangunan pendidikan dengan perkembangan lapangan kerja merupakan penyebab utama terjadinya jenis pengangguran ini. Pengangguran terdidik secara potensial dapat menyebabkan (1) timbulnya masalah-masalah sosial dengan tingkat rawan yang lebih tinggi. (2) menciptakan pemborosan sumber daya pendidikan. (3) menurunkan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan.[4]

Pendidikan formal di Indonesia dirasakan selalu tertinggal dibandingkan dengan perkembangan teknologi, informasi maupun dunia bisnis, sehingga output pendidkan formal banyak yang tidak terserap secara langsung oleh pasar kerja. Seharusnya tamatan pendidikan formal dapat terserap baik secara langsung maupun tidak langsung pada dunia usaha, apakah sebagai tenaga ahli sesuai bidangnya atau menjadi entrepreuner yang dapat membangkitkan dunia usaha. Sehingga tamatan pendidikan formal meskipun berorientasi kepada human investment juga memikirkan kaitan langsung dengan dunia usaha dan tidaklah menjadi pengangguran terdidik.

Untuk mencapai keadaan di atas, perlu adanya usaha yang sungguh-sungguh dari semua elemen bangsa untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan.  Dengan kata lain semua lapisan masyarakat harus mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) terhadap perkembangan dunia pendidikan, karena dalam membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan tidak cukup hanya dengan memiliki spirit semata yang lebih konkrit lagi adalah terbentuknya suatu keinginan atau political will dan komitmen yang kuat dari segenap lapisan masyarakat. Makalah ini akan membahas langkah-langkah yang dapat dilakukan agar pengangguran intelektual dapat dikurangi bahkan dihilangkan dengan pendekatan sosiologi, antropologi, dan psikologi..

II. Pembahasan

Untuk mengatasi masalah pengangguran intelektual, pembangunan pendidikan harus menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, dan psikologi.   Dengan menggunakan ketiga pendekatan tersebut, diharapkan arah pendidikan yang sedang dibangun memiliki arah yang jelas sesuai dengan perkembangan psikologi anak, sesuai dengan keadaan masyarakat, dan mampu membuat peradaban yang kondusif untuk menghadapi era digital yang mengglobal. Sehingga lembaga pendidikan selalu terkait dengan masyarakatnya, baik masyarakat industri maupun dunia usaha pada umumnya, sehingga menghasilkan lulusan yang berkualitas dan memiliki kemampuan untuk mengisi lapangan pekerjaan sesuai dengan bidangnya, dan mampu membuat lapangan kerja baru melalui kegiatan wirausaha.

Upaya Perbaikan Pendidikan

Upaya perbaikan pendidikan di Indonesia agar outputnya berkualitas dan mampu berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus dilakukan secara terpadu, baik dari segi kualitas guru, kualitas program, kualitas fasititas, dan kualitas system. Berikut ini akan diuraiakan bagaimana masing-masing disiplin ilmu di atas memberikan kontribusi dalam mengatasi maraknya pengangguran intelektual di nusantara tercinta ini.

1.      Pendekatan Sosiologi

Guru merupakan tokoh kunci dalam proses pendidikan, keberhasilan proses pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran, meskipun masih ada faktor lain, tetapi yang paling dominan adalah guru. Dalam kehidupan masyarakat yang maju biasanya guru memiliki strata sosial yang tinggi, seperti masyarakat Jepang sangat menjunjung tinggi profesi guru. Bahkan ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh Sekutu, pertama yang dipertanyakan adalah guru, ada berapa guru yang tersisa? Itu pertanyaan yang ditanyakan oleh otoritas pemerintahan kala itu.

Mengingat tingginya nilai profesi guru di Jepang, maka profesi ini merupakan profesi impian dari setiap siswa tamatan SMA, mereka berebut tempat agar diterima di lembaga pendidikan guru. Akibatnya seleksi untuk menjadi guru sangat ketat, dan hanya orang-orang terbaik yang terpilih menjadi guru. Bandingkan dengan kondisi di Indonesia, kalau seluruh siswa kelas 3 SMA di Indonesia ditanya tentang cita-cita yang ingin diraih setelah lulus kuliah, maka jawaban yang paling dominan pasti bukan guru. Guru mendapat peringkat yang rendah bila dibandingkan dengan pegawai bank, pegawai BUMN, dan pegawai yang lain. Strata seorang guru di Indonesia secara social bukanlah strata tertinggi, penilaian terhadap guru oleh masyarakat dan pemerintah sama dan sebangun, lihat bagaimana nasib guru bantu.

Antara kualitas guru di Indonesia dan strata sosial seorang guru, bagaikan ayam dengan telur, mana yang lebih dulu. Apakah kualitas guru yang rendah sehingga bukan profesi yang membanggakan atau karena stratanya ‘rendah’ sehingga yang berminat menjadi guru bukan orang yang terbaik kualitasnya.

Upaya untuk meningkatkan kualitas guru sebenarnya sudah lama dilakukan, dengan Undang-undang Guru dan Dosen, dimana pendidikan minimal seorang guru harus S-1, sertifikasi professional guru, dan pelaksanaan ujian nasional adalah upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas guru. Namun upaya itu dirasa kurang efektif, karena mentalitas bangsa kita banyak yang terbiasa dalam kecurangan, sehingga muncul kolusi membuat universitas abal-abal yang dalam waktu kurang dari dua tahun seorang guru yang tadinya hanya tamatan SPG atau D-2 bisa memperoleh gelar sarjana pendidikan. Di sisi lain lihat kecurangan-kecurangan yang dilakukan dalam sertfikasi guru, dan dalam pelaksanaan Ujian Nasional.

Menurut Prof. H.A.R. Tilar tamatan Sekolah Guru (SPG, PGSD, atau FKIP, IKIP) bukan bodoh, tetapi tidak bisa mengajar. Bukan salah yang bersangkutan, tetapi salah system Pendidikan Guru. Sejak zaman Hindia Belanda, sampai dibubarkannya semua lembaga Pendidikan Guru, lembaga Pendidikan Tenaga Pendidik (LPTK) diselenggarakan dengan dua asumsi yang keliru. Pertama makin tinggi sekolah, makin complicated ilmu, oleh karena itu sekolah rendah memerlukan guru rendah dan sekolah tinggi memerlukan tamatan sekolah tinggi. Kedua, di SD guru mengajarkan ilmu sederhana, di sekolah tinggi, mengajarkan ilmu makin tinggi. Oleh karena itu guru SD cukup berpendidikan 3 tahun di atas SD. Demikian selanjutnya guru SLTP, mendapat guru SLTP plus tiga tahun.[5]

Selama masih ada kesenjangan antara hasil pendidikan dengan kebutuhan tenaga kerja, ada kesenjangan harapan akan prestasi yang ada, selama itu pula problema pendidikan senantiasa dibicarakan dan gaung tuntutan pembaharuan pendidikan akan terus bergema. Ada dua pendekatan yang dapat digunakan membedah problem kependidikan: macrocosmic dan microcosmic. Macrocosmic merupakan pendekatan yang bersifat makro, di mana proses pendidikan dianalisis dalam kerangka yang lebih luas. Dalam arti, proses pendidikan harus dianalisis dalam kaitannya dengan proses di bidang lain. Sebab proses pendidikan tidak bisa dipisahkan dari lingkungan, baik politik, ekonomi, agama, budaya, dan sebagainya. Oleh karenanya pendekatan ini menekankan bahwa usaha-usaha memecahkan problema di bidang pendidikan tidak ada artinya kalau tidak dikaitkan dengan perbaikan dan penyesuaian di bidang lain.[6]

Pendekatan microcosmic melihat pendidikan sebagai suatu kesatuan unit yang hidup di mana terdapat interaksi di dalam dirinya sendiri. interaksi yang terjadi tersebut berupa proses belajar mengajar yang terdapat di kelas. Pendekatan ini memandang interaksi guru dan murid merupakan faktor pokok dalam pendidikan. Oleh karenanya, menurut pendekatan mikro ini, perbaikan kualitas pendidikan hanya akan berhasil kalau ada perbaikan proses belajar mengajar atau perbaikan dalam bidang keguruan.[7]

Teori Sosiologi Kritis (Critical Sociology) cukup relevan untuk mengatasi bagaimana pendidikan tidak menghasilkan pengangguran intelektual (terpelajar), menurut teori ini pendidikan harus dikelola secara adil seluruh lapisan sosial di masyarakat harus mendapat peluang yang sama dalam memperoleh pendidikan. Teori ini juga berpendapat bahwa anggaran pendidikan di suatu Negara harus diberi porsi yang besar dari anggaran belanja negaranya, dan berhasil meningkatkan kemajuan ekonomi negaranya secara signifikan.[8]

Pendekatan teori ini mengakibatkan politik Negara dalam pendidikan menempatkan guru sebagai profesi yang strategis bahkan menempatkan posisi guru di atas profesi yang lain, dan mengembangkan metode pembelajaran baru yang lebih student oriented.[9] Dengan pendekatan ini pembelajaran lebih memperhatikan aspek-aspek yang mengarah kepada life skills murid sehingga murid tumbuh berkembang sesuai dengan kondisi masyarakatnya, yang pada akhirnya menumbuhkan jiwa kewirausahaan murid, sehingga setelah selesai sekolah dia bisa menciptakan lapangan kerja. Otomatis bila seluruh lulusan sekolah mempunyai kwalifikasi seperti di atas maka pengangguran intelektual bisa diatasi.

2.      Pendekatan antropologi

Pendekatan antropologi dalam pembangunan pendidikan sangat penting, karena penerapan pendidikan di suatu daerah harus sesuai dengan kondisi lingkungan yang ada. Output yang diharapkan dari suatu proses perubahan pendidikan dalam menuju ke arah peningkatan kualitas adalah tergantung dari bagaimana mengimplemantisakan, dengan tetap berkomitmen dan berpegang pada aspek perubahan paradigma baru sistem pendidikan dan stressing nya difokuskan terhadap hal-hal berikut ini : (R.Eko Inrajit, 2006, Halaman 379)

1.      Sistem Pendidikan harus diimplementasikan dengan berpegang pada prinsip “muatan lokal, orientasi global”

2.      Konten dan kurikulum yang dibuat harus berbasis pada penciptaan kompetensi siswa (kognitif, afektif dan psikomotorik)

3.      Proses belajar mengajar harus berorientasi pada pemecahan masalah riil dalam kehidupan, tidak sekedar mengawang-awang (problem base learning)

4.      Fasilitas sarana dan prasarana harus berbasis teknologi informasi agar dapat tercipta jejaring pendidikan antar sekolah dan lembaga lainnya

5.      Sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidkan harus mempunyai kemampuan multi dimensi yang dapat merangsang multi intelejensia peserta didik

6.      Manajemen pendidikan harus berbasis sekolah ? Sistem informasi terpadu untuk menunjang proses administrasi dan strategis

7.      Otoritas pemerintah daerah diharapkan lebih berperan dalam menunjang infrastruktur dan suprastruktur pendidikan ? Sesuai strategi otonomi daerah yang diterapkan secara nasional.[10]

Dengan pendekatan antropologi tamatan sekolah di daerah pertanian akan memiliki keterampilan di bidang pertanian, di daerah pesisir memiliki keterampilan di bidang kelautan, sehingga tamatan sekolah tidak akan menghasilkan pengangguran intelektual karena mereka memiliki kompetensi hidup di lingkungannya dan bisa bekerja dan menciptakan lapangan kerja di lingkungannya.

3.      Pendekatan Psikologi

Salah salah satu upaya peningkatan kualitas guru dimulai dari rekruitmen guru. Rekrutmen guru didasarkan pada pengakuan bahwa guru adalah pekerjaan professional. Oleh karena itu guru direkrut paling rendah tamatan S1 dengan profesi keguruan dua tahun. Sejenis dengan psikolog, dokter, notaries, bahkan akuntan dan pengacara.[11]

Agar guru lebih professional dalam melakukan tugasnya, setiap tahun harus diadakan pelatihan professional guru, sehingga wawasan guru selalu bertambah. Ambil contoh di Jepang setiap tahun guru mengikuti pelatihan 100 jam, sehingga kualitas guru di sana sangat tinggi. Ditambah lagi dengan tingginya minat baca guru di Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Karena itu agar kualitas guru di Indonesia meningkat maka di tingkat sekolah diupayakan setiap tahun ada pelatihan professional guru.

a.      Kualitas dan Paradigma Pembelajaran

Sejak dahulu metode pembelajaran kita selalu berorientasi dan bersumber hanya kepada guru dan berlangsung satu arah (one way), kita sepakat bahwa metode ini sudah tidak dapat dipertahankan lagi dengan tanpa mengenyampingkan bahwa GURU itu tetap harus menjadi insan yang patut di Gugu dan di tiRu. Sudah saatnya kini orientasi berubah tidak hanya kepada satu sumber saja (Guru), tetapi harus dilakukan berorientai kepada siswa dan secara multi arah, dengan terjadinya proses interaksi ini diharapkan akan menstimulir para siwa untuk lebih menumbuhkan tingkat kepercayaan dirinya, proaktif, mau saling bertukar informasi, meningkatkan keterampilan berkomunikasi, berfikir kritis, membangun kerja sama, memahami dan menghormati akan adanya perbedaan pendapat dan masih banyak harapan positif lainnya yang lahir dari adanya perubahan tersebut serta pada akhirnya siswa akan dihadapkan pada realitas yang sebenarnya dalam memandang dan memahami konteks dalam kehidupan kesehariannya.

Hubungan Pembelajaran dengan Metode Mengajar

1.      Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan metode mengajar diantaranya adalah faktor tujuan pembelajaran, karakteristik materi pelajaran, faktor siswa, faktor alokasi waktu, dan fasilitas penunjang.

2.      Pembelajaran merupakan kegiatan yang bertujuan yang banyak melibatkan aktivitas siswa dan aktivitas guru. Untuk mencapai tujuan pengajaran perlu adanya metode mengajar.

3.      Pemilihan metode mengajar harus mempertimbangkan pengembangan kemampuan siswa yang lebih kreatif inovatif dan dikondisikan pada pembelajaran yang bersifat problematis. Pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar secara mandiri dan belajar secara kelompok.

4.      Metode mengajar memiliki fungsi sentral dalam pembelajaran diantaranya yaitu sebagai alat atau cara untuk mencapai tujuan pembelajaran.

5.      Tujuan pembelajaran yang harus dikembangkan berdasarkan ranah tujuan kognitif, afektif dan psikomotor. Ranah tujuan tersebut akan memungkinkan dicapai pada tujuan yang bersifat umum.

6.      Setiap pemilihan metode mengajar harus didasarkan pada hasil kajian antara perilaku yang diharapkan dengan cara yang akan ditempuh dalam pembe-lajaran.[12]


Hubungan Pengalaman Belajar dengan Metode Mengajar

1.      Pengalaman belajar (learning experience) merupakan suatu proses atau hasil kegiatan belajar yang dilakukan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.

2.      Penggunaan metode ceramah esensinya menyajikan bahan pelajaran secara lisan oleh guru, yang akan membentuk pengalaman belajar dalam kemampuan menyimak, dan pemahaman terhadap informasi dari materi pelajaran yang disajikan.

3.      Penggunaan metode diskusi esensinya menyajikan bahan pelajaran melalui sesuatu problem yang harus diselesaikan secara bersama dibimbing oleh guru, yang akan membentuk pengalaman belajar siswa dalam menjawab persoalan serta belajar secara kerja sama dan membuat suatu keputusan.

4.      Penggunaan metode simulasi esensinya menyajikan bahan pelajaran melalui objek atau kegiatan pembelajaran yang bukan sebenarnya. Pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi kemampuan kerja sama, komunikatif, dan mengiterpretasikan sesuatu kejadian.

5.      Penggunaan metode demonstrasi esensinya menyajikan bahan pelajaran dengan mempertunjukkan secara langsung pada objeknya atau caranya melakukan sesuatu untuk mempertunjukkan sesuatu proses. Pengalaman belajar yang diperoleh melalui metode ini meliputi kemampuan bekerja dan berpikir secara sistematis, dan mengamati objek yang sebenarnya.

6.      Penggunaan metode eksperimen esensinya menyajikan bahan pelajaran melalui percobaan serta mengamati sesuatu proses. Pengalaman belajar yang akan diperoleh adalah menguji sesuatu, menguji hipotesis, menemukan hasil percobaan dan mengembangkan rasa ingin tahu siswa. Dalam membentuk pengalaman belajar siswa cenderung menggunakan metode-metode yang memiliki kadar CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dan keterampilan proses, serta metode mengajar digunakan secara multi metode dan bervariasi.[13]


Kondisi-kondisi dalam Pencapaian Tujuan Belajar

1.      Kondisi-kondisi yang perlu diidentifikasi dalam pencapaian tujuan belajar terdiri atas kondisi internal dan kondisi eksternal. Kondisi internal yaitu kondisi-kondisi yang berasal dari dalam diri siswa(psikologis), sedangkan kondisi eksternal yaitu kondisi-kondisi yang timbul dari luar diri siswa.

2.      Kondisi internal (psikologis) yang mempengaruhi pencapaian tujuan belajar, diantaranya:

1.      Sikap siswa terhadap proses belajar yang dilakukannya

2.      Motivasi belajar, terutama motivasi intrinsik

3.      Konsentrasi selama melakukan kegiatan belajar

4.      Kadar inteligensi yang dimiliki siswa

5.      Rasa percaya diri untuk belajar

3.      Kondisi eksternal yang mempengaruhi pencapai tujuan belajar, diantaranya:

1.      Kualitas guru dalam melaksanakan proses pembelajaran

2.      Sarana dan prasarana yang menunjang pembelajaran

3.      Lingkungan sosial siswa di sekolah[14]

Agar lulusan pendidikan berkualitas maka paradigma pembelajaran harus  mengakomodir 4 pilar pendidikan dari UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization). Pertama, learning to know: belajar untuk mengetahui lebih banyak varietas ilmu. Semakin banyak mengetahui, peserta didik diharapkan mampu bertindak bijaksana, tidak hanya berpikir secara sekuensi-dogmatis (lurus dan kaku), melainkan secara kon-sekuensi-kritis adaptif/tolerantif. Salah satu masalah besar rakyat Indonesia dewasa ini adalah kepicikan berpikir. Dalam arti cenderung sekuensi-dogmatis (fanatik dan intolerantif).

Kedua, learning to do: belajar untuk melakukan dalam rangka menyelesaikan masalah dan mengerjakan sesuatu. Di sini yang disasar adalah psikomotorik sang pelajar. Atau kemampuan bertindak dan daya kreativitas. Banyak peserta didik yang lemah daya kreatifnya. Mengapa? Karena kebiasaan berlatih kurang dibudayakan.

Ketiga, learning to be: kemampuan untuk menjadi-berkembang-bertumbuh sebagai manusia yang ideal.

Keempat, learning to live together: kemampuan untuk hidup berdampingan dengan orang lain. Anak didik mulai disadarkan untuk mencintai orang lain. Seperti kita tahu, manusia kiwari justru menjadikan perbedaan, golongan, suku, agama sebagai penyebab terjadinya konflik. Hal itu terjadi, mungkin karena belum mampu menerima kehadiran yang lain (the others). Selain itu, anak didik diarahkan agar mereka memiliki kesadaran akan nilai empati dan mau solider dengan orang lain. Artinya, UNESCO mengharapkan peserta didik tidak hanya “a knower and doer” melainkan sebagai “a self-finder and social-care-taker. UNESCO sadar bahwa tujuan utama pendidikan adalah untuk memanusiawikan manusia.[15]

Langkah yang paling strategis untuk perbaikan kualitas pembelajaran adalah dengan mulai menerapkan kegiatan pembelajaran yang menjadikan murid sebagai subyek belajar. Kegiatan belajar semacam ini dirumuskan dengan daur belajar yang dimulai dengan melakukanà mengungkapkanàmenganalisaàmenyimpulkan.

Tahap melakukan adalah tahap melaksanakan tugas dalam bentuk permainan kelompok, pekerjaan individu, simulai atau test. Para peserta didorong untuk melakukan pelaksanaan acara dengan sepenuh potensi dirinya, potensi fisik, akal/pikiran, emosi/nurani. Secara motorik, melibatkan emosi dan mempergunakan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Selain keterlibatan dirinya, juga berinteraksi dengan peserta lain dan menimbulkan ‘pengalaman’.

Tahap mengungkapkan adalah tahap mensistematisasikan pengalaman secara runtut dan logis. Inilah peristiwa pengalaman ilmiah. Peristiwa yang menyangkut dirinya atau teman sepengalaman. Pengalaman yang diungkapkan berupa pengalaman fisik, pengalaman kejiwaan dan emosi. Dengan pengungkapan ini diharapkan teridentifikasi kekuatan dan kelemahan diri atau proses pengenalan diri.

Tahap menganalisa adalah tahap menilai hubungan antar pengalaman, antara perilaku dan nilai-nilai acuan, antara emosi dan rasio dan hubungan antara pribadi peserta. Proses analisa dapat dilaksanakan sebagai presentasi pribadi atau diskusi kelompok. Analisa ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan  “mengapa terjadi seperti itu”. Atau “mengapa saya begini, kamu begitu?”

Tahap kesimpulan adalah tahapan “Pengalaman AHA”. Sesungguhnya secara alamiah, pribadi yang belajar selalu akan sampai pada “pengalaman AHA”, dalam waktu yang tanpa diduga. Seperti tertawa menonton kelucuan pelawak. Tetapi “pengalaman AHA” yang lebih besar bisa terjadi melalui diskusi, renungan atau refleksi, sampai pada menyadari bahwa dirinya punya kelemahan, punya kekuatan, berhasrat untuk meraih hasil, mempunyai dorongan untuk melakukan perubahan atau membangun citra baru. Integritas diri dan performance organisasi. Aha atau oh, adalah ungkapan “memahami” mengapa sesuatu terjadi begitu atau kesimpulan lainnya.[16]

Pembelajaran yang memfokuskan murid subyek belajar dan guru sebagai fasilitator sering disebut dengan student active learning atau yang dulu sering dikenal dengan CBSA (cara belajar siswa akti) adalah pola pembelajaran yang memfokuskan pada kegiatan siswa. Tugas guru adalah sebagai fasilitator yang merencanakan kegiatan pembelajaran, dari mulai memilih topic, membuat lesson plann atau RPP, membuat lembar kerja siswa, menyiapkan bahan yang akan digunakan dalam kegiatan pembelajaran, menyiapkan sumber pembelajaran. Ketika kegiatan pembelajaran berlangsung guru bertindak sebagai pemandu atau mentor, murid melakukan pembelajaran sesuai dengan lembar kerja yang telah disiapkan. Kalau dikaji secara mendalam sesungguhnya CBSA mendasarkan pada paradigma baru. Murid dalam metode CBSA bukan dianggap obyek pendidikan, melainkan sebagai subyek pendidikan. Sesungguhnya yang penting bukan saja pengetahuan atau keterampilan akan diperoleh, melainkan juga bagaimana cara memperoleh pengetahuan atau keterampilan tersebut. Guru bukan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Malahan, guru hanya berfungsi sebagai fasilitator. Apa yang dikemukakan oleh guru masih bersifat “hypothetical”. Oleh karena itu murid perlu menguji kebenaran apa yang dikemukakan oleh guru. Dalam mengajar guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan guru akan aktif untuk mengkaitkan kurikulum dengan lingkungan yang dihadapi siswa. Baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial.

Pembaharuan pengajaran yang mendasarkan pada paradigma baru tersebut di Cianjur telah menunjukkan hasil-hasil yang menggembirakan. Dalam bidang prestasi akademik nilai rata-rata NEM untuk daerah Cianjur mencapai 33,88 sedangkan untuk daerah Jawa Barat secara keseluruhan rata-rata NEM hanya mencapai 26,25. Pada aspek perilaku, lulusan SD Cianjur yang sekarang ini sudah di SMP mempunyai ciri-ciri , antara lain, (a) di kelas mereka aktif baik dalam mengajukan pertanyaan maupun dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah dipelajari, (b). mereka ini bisa bekerjasama dengan membuat kelompok-kelompok belajar, (c). mereka ini bersifat demokratis, berani menyampaikan gagasan, mempertahankan gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain, dan (d) di samping mampu bekerjasama, mereka memiliki kepercayaan diri yang besar.[17]

Pembelajaran dengan system di atas umumnya dilakukan dengan system tematik, belajar diarahkan pada tema-tema yang relevan dengan kondisi masyarakat dan lingkugan tempat tinggalnya, pendekan ini sering disebut juga dengan contextual teaching and learning (CTL) yang lebih akrab dengan pembelajaran pada kehidupan sehari-hari. Sehingga murid belajar pada dunia nyata, bukan pada dunia khayal, pembelajaran semacam ini diharapkan murid tidak terasing dari lingkungan tempat tinggalnya.

Selain itu pembelajaran juga harus mengarah pada life skills education (pendidikan kecakapan untuk hidup) dimana kegiatan pemebelajaran diarahkan dengan kegiatan untuk menjalani kehidupan, persoalan sehari-hari yang dihadapi oleh seseorang pada urnumnya berkisar pada empat persoalan besar yang sangat mendasar sebagai persoalan utama. Keempat persoalan besar itu adalah: pertama persoalan yang berkaitan dengan dirinya sendiri, kedua persoalan yang berkaitan dengan keberadaannya bersama-sama dengan orang lain,  ketiga persoalan yang berkaitan dengan keberadaannya di suatu lingkungan alam tertentu, dan keempat persoalan yang berkaitan dengan pekerjaannya, baik yang berkaitan dengan pekerjaan utama yang ditekuni sebagai mata pencaharian maupun pekerjaan yang hanya sekadar sebagai hobi. Agar dapat menghadapi keempat persoalan utama tersebut dengan sebaik-baiknya, diperlukan adanya suatu kecakapan khusus yang minimal harus dapat dikuasai oleh seseorang. Untuk mempersiapkan hal itu secara dini, pada dasarnya perlu diupayakan dengan baik, sekurang-kurangnya empat jenis pendidikan kecakapan untuk hidup yang (Life Skills Education) yang harus dibekalkan kepada para siswa. Keempat jenis pendidikan kecakapan yang perlu diberikan untuk mempersiapkan anak didik agar dapat memiliki kemampuan untuk menjalani kehidupan atau kemampuan untuk menempuh perjalanan hidup itu, baik melalui pendidikan informal di dalam keluarga dan masyarakat, maupun melalui pendidikan formal di sekolah hendaknya mencakup: ‘personal  skills  education’,  ‘social  skills  education’, ‘environmental skills education’, dan ‘vocational atau occupational skills education’.

 a, ‘Personal Skills Education’ adalah pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog secara baik dengan diri sendiri untuk mengaktualisasikan jati-dirinya sebagai manusia yang menjadi khalifah atau wakil Sang Pencipta di planet bumi ini.

b.  ‘Social  Skills  Education’  adalah  pendidikan  kecakapan  yang  perlu diberikan kepada anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog untuk bergaul secara baik dengan sesama manusia.

c.  ‘Environmental Skills  Education’  adalah pendidikan kecakapan yang perlu diberikan kepada anak didik agar dapat mengembangkan kemampuan berdialog secara baik dengan lingkungan alam sekitamya, untuk menikmati keindahannya dan menjaganya dari kerusakan-kerusakan karena ulahnya sendiri atau oleh manusia lainnya, serta kemampuan untuk menjaga diri dari pengaruh-pengaruhnya.

d.  ‘Vocational atau  Occupational Skills  Education’  adalah pendidikan kecakapan  yang  perlu  diberikan  kepada  anak  didik  agar  dapat mengembangkan kemampuan untuk menguasai dan menyenangi jenis pekerjaan tertentu. Jenis pekerjaan tertentu ini bukan hanya merupakan pekerjaan utama yang akan ditekum sebagai mata pencaharian,yaitu menjadi bekal untuk bekerja mencari nafkah yang halal yang merupakan salah satu kewajiban dalam menempuh perjalanan hidupnya di kelak kemudian hari. Jenis pekerjaan tertentu dapat juga merupakan pekerjaan yang hanya sekadar sebagai hobi.[18]

b.      Sistem evaluasi dan penilaian pendidikan

Keberhasilan proses pembelajaran akan dilihat dari hasil evaluasi atau penilaian, pro dan kontra terhadap pelaksanaan ujian nasional seharusnya tidak perlu terjadi, bila memahami apa itu evaluasi dan penilain pendidikan. Menurut Drs. Moh. Uzer Usman dalam bukunya (Menjadi Guru Profesional hal 11) menyatakan bahwa tujuan penilaian adalah :

1.      Untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan

2.      Untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap materi pelajaran

3.      Untuk mengetahui ketepatan metode yang digunakan

4.      Untuk mengetahui kedudukan siswa di dalam kelompok/kelas

5.      Untuk mengaklasifikasikan seorang siswa apakah termasuk dalam kelompok yang pandai, sedang, kurang atau cukup baik dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya.[19]

Dan menurut buku Mengukur Hasil Belajar (hal 72-74) yang di susun oleh Drs. Azhari Zakri menyatakan evaluasi bermanfaat bagi guru untuk :

1.      Mengukur kompetensi atau kapabalitas siswa, apakah mereka telah merealisasikan tujuan yang telah ditentukan.

2.      Menentukan tujuan mana yang belum direalisasikan sehingga dapat menentukan tindakan perbaikan yang cocok yang dapat diadakan

3.      Memutuskan ranking siswa, dalam hal kesuksesan mereka mencapai tujuan yang telah disepakati.

4.      Memberikan informasi kepada guru tentang cocok tidaknya strategi mengajar yang digunakan.

5.      Merencanakan prosedur untuk memperbaiki rencana pengajaran dan menentukan apakah sumber belajar tambahan perlu digunakan.

6.      Memberikan umpan balik kepada kita informasi bagi pengontrolan tentang sesuai tidaknya pengorganisasian belajar dan sumber belajar.

7.      Mengetahui dimana letak hambatan pencapaian tujuan tersebut.[20]

Selain itu penilaian dan pengukran pendidikan tidak lain juga untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan guru dalam melaksanakan tugas pembelajaran, apabila dia telah menjalankan kegiatan pembelajaran dengan benar dengan metode yang tepat, maka dia tidak takut dengan tes yang diberikann oleh pihak luar. Sebenarnya tes atau evaluasi pendidikan ada dua macam, yaitu:

  1. Internal tes (teacher made test) adalah tes yang dibuat oleh guru sendiri kemudian diujikan kepada muridnya.
  2. Eksternal tes adalah tes yang berasal dari luar, yang membuat soal bukan guru yang mengajar, biasanya lembaga lain yang membuat tes. Tes jenis ini orang lebih akrab dengan ujian nasional untuk di Indonesia, sedang di luar negeri banyak sekolah yang sengaja beli tes yang dibuat oleh lembaga pengukuran. Tujuannya untuk mengetahui sejauh mana kualitas pendidikan yang dikelola oleh sekolahnya.

 

 

Kesimpulan

Agar kualitas output lembaga pendidikan formal tidak menjadi pengangguran terdidik, maka harus ada upaya perbaikan pendidikan secara menyeluruh, beberapa aspek yang paling menonjol adalah:

  1. Kualitas guru ditingkatkan.
  2. Kualitas pembelajaran ditingkatkan dengan mengadopsi perkembangan pembelajaran mutahir, dan memperhatikan konsep psikologi belajar.
  3. Perbaikan system evaluasi dan penilaian pendidikan yang lebih transparan.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud (1995), Pembangunan Pendidikan Nasional Dalam Repelita VI, Jakarta.

De Porter,B & Hernacki, M. Quantum Learning, membiasaakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan( Bandung: Penerbit Kaifa, 2000)

Gordon Dryden & Jeannette Vos. Revolusi Cara Belajar. (Bandung: Penerbit Kaifa,2001)

Jerome S. Arcaro. Pendidikan Berbasis Mutu, Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. (Yogyakarta :Pustaka Pelajar, 2005)

Unmer Malang (1994), Menuju Manajemen Perguruan Tinggi yang Efisien, Rumusan Hasil Seminar, 27-28 Juli 1994, Malang.

___________ (1996), Mempersiapkan Mutu Perguruan Tinggi Menuju Kualitas Global, Kumpulan Makalah Seminar Nasional 11-13 November 1996, Malang.

Unmer Malang, Kumpulan makalah Hasil Seminar Nasional “Mutu PTS menjelang Era Globalisasi”, 1996.

Unmer Malang, Laporan Hasil Seminar “Menuju Manajemen PTS yang Efisien”, 1995.

Utomo Dananjaya, Sekolah Gratis Esai-esai Pendidikan yang Membebaskan(Jakarta: Paramadina, 2005)

Wahjoetoemo (1995), Manajemen Perguruan Tinggi pada Era Global, Grasindo, Jakarta.

___________ (1993), Deregulasi Pendidikan, Grasindo, Jakarta

http://edu-articles.com/menggugah-perspektif-masyarakat-terhadap-paradigma-baru-sistem-pendidikan-nasional/

http://uharsputra.wordpress.com/artikel/manajemen-pengetahuan/

http://www.untag.ac.id/index.php?mod=berita&id=38


http://rindupulang.blogspot.com/2000/05/reorientasi-pendidikan-sebagai.html

http://deroe.wordpress.com/2007/12/03/tantangan-pendidikan-dalam-kondisi-indonesia/

 

 

 


http://jurnal-kopertis4.tripod.com/8-01.html

 


[2]http//www.eka-bakulmie.blogspot.com

[5] Utomo Dananjaya, Sekolah Gratis Esai-esai Pendidikan yang Membebaskan(Jakarta: Paramadina, 2005)

[8] Adiwikarta, Sudardja, Landasan Sosiologi dalam Rujukan Filsafat, Teori, dan Praksis Ilmu Pendidikan(Bandung: Univertas Pendidikan Indonesia Press, 2007) h.88

[9] ibid

[11] Utomo Dananjaya, Sekolah Gratis Esai-esai Pendidikan yang Membebaskan(Jakarta: Paramadina, 2005)

[16] Utomo Dananjaya, Sekolah Gratis Esai-esai Pendidikan yang Membebaskan(Jakarta: Paramadina, 2005)

Standar

Tinggalkan komentar